Desantara Foundation https://desantara.or.id/ Desantara lahir di era awal reformasi. Ketika itu Indonesia tengah menjalani trandisi pergantian sistem politik dan menghadapi beragam tantangan sosial budaya yang mengikutinya. Para penggagas Desantara yang sebagiannya dating dari kalangan yang mengenyam pendidikan pesantren dan menekuni isu-ius kebudayaan, melihat akar persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia ketika itu melekat erat pada praktik kebudayaan. Wed, 28 Sep 2022 12:41:10 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.5 https://desantara.or.id/wp-content/uploads/2021/06/favicon-desantara-150x150.jpg Desantara Foundation https://desantara.or.id/ 32 32 Cirebon; Buah Kejeniusan Pengeran Cakrabuana https://desantara.or.id/cirebon-buah-kejeniusan-pengeran-cakrabuana/ https://desantara.or.id/cirebon-buah-kejeniusan-pengeran-cakrabuana/#respond Wed, 28 Sep 2022 12:41:10 +0000 https://desantara.or.id/?p=4863 Dodo Widarda* Tulisan berikut ini adalah adalah hasil temuan saat penulis melakukan penelitian tentang Sunan Gunung Jati, akhir tahun 2021 yang lalu. Satu penelitian yang masih dibayang-bayangi situasi Covid-19. Dari mulai proses perizinan sampai situasi peneitian lapangan, masih dibayang-bayangi Protokol Kesehatan sangat ketat. Dari situasi lapangan itu penulis menyimpulkan bahwa masyarakat Cirebon yang berasal dari […]

Artikel Cirebon; Buah Kejeniusan Pengeran Cakrabuana pertama kali tampil pada Desantara Foundation.

]]>
Dodo Widarda*

Tulisan berikut ini adalah adalah hasil temuan saat penulis melakukan penelitian tentang Sunan Gunung Jati, akhir tahun 2021 yang lalu. Satu penelitian yang masih dibayang-bayangi situasi Covid-19. Dari mulai proses perizinan sampai situasi peneitian lapangan, masih dibayang-bayangi Protokol Kesehatan sangat ketat.

Dari situasi lapangan itu penulis menyimpulkan bahwa masyarakat Cirebon yang berasal dari perkampungan “Caruban”, dari dulu pada masa Pangeran Cakrabuana, pada masa Sunan Gunung Jati, sampai sekarang adalah potret masyarakat multukultural yang unik. Sentral dari spiritualitas Cirebon ada pada Mesjid Sang Cipta Rasa. Di seberang dari mesjid terdapat bangunan Keraton Kasepuhan. Tidak jauh dari Mesjid Sang Cipta Rasa, terdapat juga Keraton Kanoman, dan juga Keraton Kacirebonan. Tidak jauh dari keraton-keraton itu terdapat gereja, pura, vihara, Kawasan Pecinan, dan juga Kampung Arab.

Multikulturalitas mayarakat Cirebon yang penulis potret dari lingkungan terdekat Mesjid Agung Sang Cipta Rasa serta Keraton Kasepuhan, tidak lepas dari nilai-nilai filosofis masyarakat Cirebon yang mereka pegang teguh dari dulu sampai sekarang. Multikulturalitas adalah identitas yang melekat pada masyarakat Cirebon, yang telah mengendap di dalam alam bawah sadar, yang bersumber dari nilai-nilai kearifan lokal leluhur mereka, baik Pangeran Cakrabuna maupun Sunan Gunung Jati.

Cirebon ini berakar dari kata Caruban yang memiliki makna “campuran”. Adalah sebuah prestasi yang luar biasa dari Pangeran Cakrabuana yang saat itu menjadi kepala kampung, mampu bermetamorfosis dari dari seorang yang lahir di masyarakat Galuh yang homogen, menjadi berpola piker inklusif ketika mengembangkan model masyarakat pesisir Caruban Nagari. Bukti inklusivitas adalah mengizinkan pedagang asing singgah, bahkan menetap di daerah-daerah sekitar pantai yang berdampak pada kebijakan dan bertoleransi tinggi terhadap para pendatang untuk bercampur dengan penduduk pribumi masyarakat Cirebon sehingga proses akulturasi budaya berkembang dan mengasilkan corak keislaman yang plural. Konsep plural yang dimaksudkan di sini ialah mengakui adanya budaya dari Arab (pedagang muslim), Cina, Sunda dan Jawa sehingga mereka mampu bersosialisasi dengan massif (Zulfah, 2018).

Adanya pencampuran latar belakang pada masa pembentukan awal dari masyarakat Cirebon sebagai sebuah kebijakan jenius serta visioner dari Pangeran Cakrabuana, berkorelasi dengan akar kata dari Cirebon sendiri. Akar kata dari Cirebon adalah Caruban, kemudian Carbon, Cerbon, dan akhirnya Cirebon.  Caruban berarti “campuran” karena daerah ini didiami rakyat dari berbagai bangsa. Agama yang dianut, bahasa, dan tulisan, dan pekerjaan rakyatnya juga berbeda-beda (Amin, 2015, Widarda, 2021).

Itulah sepintas latar belakang dari kearifan leluhur Cirebon yang nilai-nilai dasar pandangan filosofisnya mengkristal pada kata “Caruban” serta menjadi orientasi nilai masyarakatnya yang multi etnik serta budaya. Pangeran Cakrabuana ini adalah Kuwu II serta pelanjuti dari kepemimpinan Ki Danusela sebagai Kuwu I. Di tangan Sunan Gunung Jati (1448-1568), kelak, Caruban Nagari yang berasal dari sebuah perkampungan ini, berkembang pesat menjadi kesultanan Cirebon. Sunan Gunung Jati, dengan filosofi Caruban tetap berhasil mempertahankan karakterisik masyarakat pesisir utara Jawa yang cosmopolitan serta berwatak pluralistik.

Cirebon kini adalah apa yang diimajinasikan Pangeran Cakrabuana, ketika memberi nama tempat daerah pesisir Jawa Barat itu, dengan sebutan Caruban. Lewat kejeniusan serta spirit Putera Mahkota Pajajaran itu, Cirebon kini berkembang menjadi masyarakat dengan heterogentas yang tinggi, sebuah tipe masyarakat ‘multikultural’ di Jawa Barat Indonesia (Widarda, 2021). Dalam penuturan Elang Heryanto dari Keraton Kasepuhan (Wawancara, 20 Oktober 2021, Widarda, 2021), fakta bahwa Cirebon itu sebagai sebuah wilayah multi etnis, ditopang oleh kenyataan terjadinya toleransi di antara beragam etnik serta berbagai macam keyakinan yang ada, dan tidak pernah terjadi benturan sosial karena tingginya heterogenitas itu.[]

 

Bahan Bacaan

Amin, Zamzami, Sejarah Pesantren Babakan Ciwaringin dan Perang Nasional Kedongdong 1802-1919, Bandung, Humaniora, 2015.

Zulfah,2018, Tamaddun, UIN Sunan Kalijaga Vol. 6, No. 1, Januari – Juni.

Widarda, Dodo, Nilai-Nilai Kepemimpinan Sunan Gunung Djati untuk Menegakkan Martabat Manusia Indonesia, Sebuah Pendekatan Filsafat, Bandung, LP2M UIN Sunan Gunung Djati, 2021.

* Dosen Filsafat pada Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Direktur Iranian Corner, serta Majelis Kebudayaan Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (LESBUMI) PWNU Jawa Barat)

 

 

 

Artikel Cirebon; Buah Kejeniusan Pengeran Cakrabuana pertama kali tampil pada Desantara Foundation.

]]>
https://desantara.or.id/cirebon-buah-kejeniusan-pengeran-cakrabuana/feed/ 0
Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan https://desantara.or.id/pergulatan-negara-agama-dan-kebudayaan/ https://desantara.or.id/pergulatan-negara-agama-dan-kebudayaan/#respond Thu, 16 Jun 2022 10:42:54 +0000 https://desantara.or.id/?p=4844   KH. Abdurrahman Wahid**   Assalamuʿalaikum warahmatullāhi wabarakātuhu. Para undangan dan peserta halaqah. Saudara pengurus yayasan, saya merasa sangat bergembira dapat datang di sini untuk menyaksikan bahwa budaya pesantren yang ‘ulima wa riḍa’uhu bisa hidup, buku bisa diterbitkan walau izinnya baru sekarang. Ada suatu hal yang sangat menarik, bahwa kita tengah berusaha mengadakan demokratisasi yang […]

Artikel Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan pertama kali tampil pada Desantara Foundation.

]]>
 

KH. Abdurrahman Wahid**

 

Assalamuʿalaikum warahmatullāhi wabarakātuhu. Para undangan dan peserta halaqah. Saudara pengurus yayasan, saya merasa sangat bergembira dapat datang di sini untuk menyaksikan bahwa budaya pesantren yang ‘ulima wa riḍa’uhu bisa hidup, buku bisa diterbitkan walau izinnya baru sekarang.

Ada suatu hal yang sangat menarik, bahwa kita tengah berusaha mengadakan demokratisasi yang nantinya berujung pada desentralisasi pada seluruh kehidupan kita, khususnya kebudayaan. Ini berarti seluruh inisiatif rakyat harus tumbuh dengan segala keragamannya. Ini berarti bahwa dualitas dan keragaman harus menjadi pedoman kita, bukan ajaran tunggal.

Ini penting sekali, sebab kalau tidak kita akan menjadi bangsa yang miskin budaya. Ini penting diingat karena dalam membangun bangsa kita diperlukan pluralitas yang kita pelihara dengan sadar. Terus terang saja secara tārikhi (kesejarahan) agak berbeda. Selama ini umat Islam menuju pada pemikiran tunggal, standarisasi yang ujungnya ahlu al-sunnah wa aljamāʿah, yang harus diikuti semua. Sataftariqu ummatī ‘ala isnataini wa sabʿina firqatan kulluhum fi al-nār illa wāhidah, ummatku akan terpecah belah ke dalam 72 kelompok, kecuali satu.

Ini mau tidak mau di masa modern harus ditinggalkan. Karena apa? Karena secara sengaja kita mendirikan bangsa Indonesia, ada Kristen, ada Hindu, ada Islam. Islam pun ada yang pada masa Pak Harto dulu diminta mengimami tarawih. Dia konfirmasi bagaimana kalau orang NU mengimami. Saya tanya, “mau cara NU lama atau NU baru?” Dia tanya, “apa bedanya?” Saya katakan “kalau NU lama itu 23 rakaat, sedang yang baru itu diskon 60%”.

Dengan kata lain kita meninggalkan pola keseragaman menuju apa yang dikatakan Ibn Taimiyyah, berbilangnya pimpinan. Kalau pimpinannya banyak, apalagi umatnya. Ini memiliki konsekuensi sendiri. Pertama, bahwa Islam tidak menjadi ideologi politik. Islam ditegakkan dengan cara akhlāqul karimah. Dijalankan melalui pendidikan atau apa pun jalan damai dan dengan cara merumuskan cara-cara agama. Kalau ini kita ingat betul, maka Islam dengan yang ada sekarang ini tidak perlu berkelahi. Karena Islam di atas ideologi, tidak perlu berebut. Ideologi sifatnya juzʿi sedangkan agama sifatnya ta’mīm (umum).

Ini penting sekali. Kalau kita tidak melihat secara utuh, melainkan dengan juzʿi, maka hasilnya akan lain. Kita lihat contoh. Sekarang Islam menghadapi problema, apakah akan membiarkan umatnya mengikuti deklarasi HAM atau tidak. Kalau mengikuti, maka harus ada yang diubah institusinya, yakni fiqh bukan ʿadah. Dalam fiqh orang agama lain masuk Islam tidak masalah, tapi orang Islam berpindah ke agama lain bisa dihukum mati. Ini mau diubah nggak, karena Indonesia menerima deklarasi HAM universal yang di PBB pada 1945.

Dengan demikian kita memerlukan perubahan. Untuk mewadahi perubahan NU –entah di organisasi yang lain, yang saya tahu NU—dalam salah satu muktamarnya, hukum merupakan prinsip-prinsip dalam membuat perumusan, bukan hukum yang ada dalam kitab-kitab atau tabulasi yang ada. Hukum itu bergerak terus li kulli zamānin wa makānin. Karena hukum selalu bergerak, hukum berputar sesuai dengan sebab-sebabnya, baik ada maupun tidak, maka hasilnya akan berubah.

Perubahan dalam masyarakat diakui oleh Islam sebagai yang inheren dalam hidup. Di sini ada nilai-nilai universal yang tidak dapat dibakukan lagi, dan ada yang bisa berubah. Ada hukum yang ditetapkan dan hukum yang mutaghayyirah (yang bisa berubah). Dengan adanya hukum seperti itu, maka harus ada kajian fiqh secara mendalam. Terlebih terhadap kebudayaan yang selalu berubah.

Inilah yang sebenarnya menjadi inti penerimaan Islam atas desentralisasi budaya yang kita laksanakan dan desentralisasi politik yang hampir selesai. Jadi, perlu sikap kita untuk mengakui keberagaman. Kita tidak perlu takut ini akan merusak kita, justru akan memperkaya. Kita ambil contoh, di Amerika yang sangat modern, di Aluziana masih menggunakan Napolionik, sehingga hakim agung di Amerika harus pula menguasai Napolionik.

Kalau kita sudah mengakui demikian, maka kita akan berlapang dada terhadap kemajemukan. Kalau tidak, maka akan main hakim sendiri, seperti di Kemang bulan puasa yang lalu, ada yang masuk ke restoran, minuman haram diambil sendiri. Kalau untuk dipecah masih untung, di luar untuk dijual itu. Inilah kadang kita tidak sabar terhadap perjalanan hukum dengan tindakan fisik yang sifatnya kekerasan.

Dengan demikian tindakan untuk pluralisasi berarti penghormatan terhadap perbedaan yang ada. Sering kali umat Islam belum bisa menghormati perbedaan yang ada. Misalnya saya sendiri mendapat sorotan sebagai agen CIA, Partai Ba’ts, untung saya tidak masuk pada anggota M16. Kan ciloko kalau saya menyandang yang bertentangan. Emang saya ini setan apa? Ada satu perbuatan yang sama-sama dibenci Tuhan dan setan, yaitu memperkosa istri setan.

Inilah kenyataan kita. Oleh karena itu saya senang karena ada lembaga yang membicarakan kebudayaan. Nanti hasilnya harus ditularkan kepada masyarakat dengan bahasa yang mereka mengerti. Selama ini halaqah menghasilkan bahasa yang tidak dimengerti masyarakat. Itu akan menjadi sampah.

Ini persis dengan yang terjadi pada program Keluarga Berencana (KB). Saya masih ingat ketika ada Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) menerangkan tentang KB di hadapan para kiai se-Jawa Timur sampai keluar keringat karena takut salah. Ketika ditanya, “apakah ada pertanyaan?” Kiai Mahrus yang saat itu Ketua Syuriah wilayah Jawa Timur bertanya,  “yang di depan Bapak itu apa?” Ternyata kondom. “Nah, itu kondom ukuran Arab atau India?”

Sering kali saya diminta orang mengharamkan judi buntut, kalau cuma mengharamkan itu mudah dan ada segerobak dalil saya bisa. Tapi saya tidak mau, saya hanya memberikan cerita, ada seorang yang tinggal terakhir uangnya dan minta menang. Saya minta dia semedi di pohon. “Mbah uang saya tinggal terakhir dan saya ingin menang”, simbah menyatakan 30 yang keluar 63. “Bagaimana Mbah, kok tidak berhasil”, lalu dikasih 66 yang keluar 99. “Kenapa terus salah?” Mbah bilang “saya dulu pelanggan judi buntut dan selalu kalah lalu gantung diri”.

Saya berharap buku halaqah bisa disosialisasikan kepada masayarakat dengan baik. Kalau buku saya memang bukan diperuntukkan mereka. Buku saya diperuntukkan kepada kaum terdidik yang di atas langit. Demikian saudara-sudara sambutan peluncuran buku saya. Dan mudah-mudahan ini bisa diterima masyarakat dengan baik dan saya hargai dengan baik. Wassalāmuʿalaikum warahmatullāhi wabarakātuhu.

 *Disampaikan dalam Pidato Kebudayaan dan Peluncuran Buku “Pergulatan Negara, Agama Dan Kebudayaan” yang diselenggarakan Yayasan Desantara, Wisata International Hotel Jakarta, 11 Juni 2001

** Presiden Republik Indonesia

Artikel Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan pertama kali tampil pada Desantara Foundation.

]]>
https://desantara.or.id/pergulatan-negara-agama-dan-kebudayaan/feed/ 0
Kebudayaan dan Gerakan Sosial: Pengalaman Organisasi Odesa Indonesia https://desantara.or.id/kebudayaan-dan-gerakan-sosial-pengalaman-organisasi-odesa-indonesia/ https://desantara.or.id/kebudayaan-dan-gerakan-sosial-pengalaman-organisasi-odesa-indonesia/#respond Tue, 31 May 2022 23:47:00 +0000 https://desantara.or.id/?p=4759 Faiz Manshur Ketua Odesa Indonesia   Yayasan Odesa Indonesia bekerja dalam gerakan sipil dengan pendekatan budaya. Saya ungkapkan demikian bukan karena diskusi kita perihal kebudayaan, melainkan karena visi Odesa Indonesia memang menaruh besar pada usaha pencapaian perbaikan masyarakat sampai tahap jauh yaitu keadaban (peradaban).   Kebudayaan penting dijadikan titik-tolak kerja karena untuk menuju keadaban dibutuhkan […]

Artikel Kebudayaan dan Gerakan Sosial: Pengalaman Organisasi Odesa Indonesia pertama kali tampil pada Desantara Foundation.

]]>
Faiz Manshur

Ketua Odesa Indonesia

 

Yayasan Odesa Indonesia bekerja dalam gerakan sipil dengan pendekatan budaya. Saya ungkapkan demikian bukan karena diskusi kita perihal kebudayaan, melainkan karena visi Odesa Indonesia memang menaruh besar pada usaha pencapaian perbaikan masyarakat sampai tahap jauh yaitu keadaban (peradaban).

 

Kebudayaan penting dijadikan titik-tolak kerja karena untuk menuju keadaban dibutuhkan sebuah modal (sosial) yaitu kebudayaan.  Karena itu, sadar terhadap hakikat budaya di sebuah masyarakat menjadi sebuah keharusan. Apa saja sendi-sendi kebudayaan yang ada di masyarakat? Apa yang kurang? Apa yang sudah tersedia dan memiliki nilai keunggulan? Dan kita juga harus bertanya, bagaimana  jika di masyarakat itu tidak memiliki sendi-sendi kebudayaan?

 

Tadi saya katakan kebudayaan sebagai pendekatan atau optik. Ini bisa problematik kalau tidak dituntaskan. Sebab saya yakin Anda akan bertanya, kebudayaan sebagai cara memandang itu bagaimana? Apa yang dipandang? Apakah yang kemudian dipandang itu selalu budaya? Bagaimana mungkin nanti budaya melihat budaya?

 

Perkara ini nanti akan terang dengan sendirinya dengan apa yang saya sebut budaya dalam pengertian kami di Yayasan Odesa Indonesia. Tetapi supaya lebih mudah, di awal saya akan jelaskan bahwa yayasan Odesa memiliki sistem berpikir etnografis sehingga cara pandang budaya dan kerja budaya itu tak terpisahkan. Tak ada cara pandang yang beku (dalam bingkai epistemologis tertentu). Kalau pun harus menyebut salah satu epistemologi, maka jenis epistemologinya adalah etnografi itu sendiri.

 

Dengan kata lain budaya dalam pandangan kami adalah optik sekaligus objek. Segenap tindakan yang kami lakukan dalam kerja kebudayaan ini adalah pendidikan yang pendidikan itu garis teleologinya adalah memproduksi ilmu pengetahuan. Lalu bagaimana dengan deontologinya? Kita pakai di level kerja klasifikasi.

 

Karena setiap penilaian harus bersandarkan ukuran atau objek yang nyata. Pembacaan dari perihal budaya dari saya kurang lebih begini:

 

Yang paling pokok dari skema di atas adalah kata 1) Budaya, 2) Ternak/Satwa 3) Literasi 4) Teknologi.

 

Kata budaya saya letakkan harus tetap lekat dengan urusan pangan karena memang kultur adalah agrikultur atau budaya adalah budidaya, dan urusan tradisi hidup sebelum memasuki kebudayaan memang tak lepas dari urusan budidaya, alias pertanian.  Dan argumentasi ini laras dengan kesenian, satwa, literasi/pendidikan dan teknologi.

 

Dengan memberikan pengertian yang paling mendasar ini saya berharap nanti teman-teman yang gemar berbicara tentang budidaya, apalagi berkepentingan memajukan kebudayaan mestinya juga harus terus mendekatkan pada objek 1) pangan, 2)rumah tangga, 3)satwa atau lebih luas lagi adalah masalah ekologi dan ekosistem.  Tiga hal ini jangan dilupakan supaya nanti apa yang kita lakukan dalam kegiatan literasi dan sekaligus memanfaatkan teknologi juga harus terhubung pada apa yang disebut survival hidup manusia. Jika survival-nya tertata dan terjaga baik, maka kebudayaan pun akan berkembang baik. Demikian sebaliknya.

 

Semoga dengan cara ini, kita menjadi lebih mengingat apa yang paling mendasar untuk diperjuangkan dalam masyarakat. Jangan sampai kita bicara kesenian misalnya, tetapi tidak terhubung dengan masalah budaya karena seni memang bagian budaya, tetapi bicara seni atau berkegiatan seni tidak lantas adalah kerja budaya. Sama seperti kita bekerja dalam dunia pendidikan, tetapi jika tidak memahami alur kerja ini, bisa jadi pendidikan kita tidak laras untuk kepentingan kemajuan budaya.

 

Budaya adalah aset. Jika itu ada, maka kita tinggal transformasikan ke arah yang lebih maju. Goal-nya adalah pemberdayaan, atau menegakkan keadaaban, yang kalau lebih jauh dikaitkan dengan tata-negara bisa menjadi wahana menegakkan negara yang berperadaban. Dan negara berperadaban bisa diukur dari empat pilar di atas.

 

Satu hal yang penting di dalam membuat peta dasar gerakan kebudayaan (menuju ke arah keadaban) adalah pentingnya melihat tradisi sebagai sesuatu yang berbeda dengan budaya. Tidak setiap tradisi bisa disebut kebudayaan karena jika hanya sebatas kebiasaan (sekalipun masif) tidak lantas bisa bernilai dari sisi budaya.

 

Kalau di dalam budidaya sebagai modal kebudayaan di atas bergantung pada kekuatan ilmu pengetahuan, modal (ketersediaan) alam, dan kolektivitas manusia, maka kita pun harus membicarakan masalah perilaku (behavior) yang ini tidak boleh dilepaskan dari penilaian kita. Untuk menilai apakah tradisi bisa disebut budaya atau tidak, manakala ada empat ukuran.

 

Empat ukuran ini kami susun berdasarkan studi lapangan di Yayasan Odesa tahun 2016.  Dari hasil penelitian selama  1,5 tahun tersebut kita memunculkan empat penilaian untuk mengukur tinggi rendahnya keadaan masyarakat dengan menetapkan adanya,  1) nilai moral, 2) nilai ekonomi, 3) nilai seni, dan 4) nilai sains. Masyarakat yang maju akan memperlihatkan keseimbangan di antara keempat nilai tersebut.

 

Saat ini Odesa Indonesia Indonesia bergiat aktif di Kawasan Bandung Utara. Kami berusaha menggalang solidaritas kelas menengah perkotaan untuk melakukan pemberdayaan petani dan masyarakat. Ada tiga tujuan yang hendak kami capai: peduli terhadap Kehidupan Petani, Terutama petani Golongan Pra-Sejahtera; memperbaiki pertanian dengan prinsip ramah lingkungan; memperkuat sumber daya manusia desa.

 

Program yang kami kembangkan antara lain mencegah erosi dan pemberdayaan ekonomi. Program terakhir kami jalankan melalui aksi pembibitan, pertanian tanaman herbal dan tanaman pangan bergizi. Melalui aksi itu, kami berharap akan menghasilkan pangan sehat bergizi; memperluas pertanian ramah lingkungan dengan aneka ragam hayati; menaikkan pendapatan ekonomi petani. Dalam budidaya pangan, kami mendorong petani menanam kelor, saun Afrika, sorgum, habjeli, dan kopi. Saat ini kami mendampingi 2.800 petani.

Di bidang pendidikan, Odesa menyelenggarakan Sekolah SAMIN, akronim dari Sekolah Sabtu-Minggu. Kebanyakan aktivitas Pendidikan Odesa Indonesia dilakukan hari sabtu dan minggu. Samin dalam arti lain adalah Sekolah Analisis Manusia Indonesia, dan Sekolah Amal Manusia Indonesia. Sekolah Analisis Manusia Indonesia untuk kaum terpelajar Perkotaan agar peduli terhadap kehidupan petani. Sekolah Amal Manusia Indonesia untuk praktik para aktivis agar menemukan model gerakan civil society yang berkualitas. Odesa juga menyelengarakan beasiswa sekolah formal untuk anak-anak petani, termasuk Sekolah Informal untuk petani dan anak-anak petani.

Sementara itu di bidang kesehatan, Odesa mengembangkan gerakan membangun sarana mandi, cuci dan kakus (MCK), pelayanan pemeriksaaan dan pengobatan, dan bantuan material yang mendukung kegiatan kesehatan.

Kami berharap, program-program tersebut berkontribusi mencapai masyarakat yang maju, yang memperlihatkan keseimbangan di antara keempat nilai yang kami sebutkan di atas: nilai moral, nilai ekonomi, nilai seni, dan nilai sains.

 

*Disampaikan dalam Ngaji Budaya  Desantara Kebudayaan Dan Gerakan Sosial Dari Desa: Pengalaman Odesa Berama Faiz Mansur, Desantara- Yayasan Odesa, Selasa, 17 Mei 2022, via daring. 

Artikel Kebudayaan dan Gerakan Sosial: Pengalaman Organisasi Odesa Indonesia pertama kali tampil pada Desantara Foundation.

]]>
https://desantara.or.id/kebudayaan-dan-gerakan-sosial-pengalaman-organisasi-odesa-indonesia/feed/ 0
Peringati Hari Bumi: Para Santri Serukan Transisi Energi https://desantara.or.id/peringati-hari-bumi-para-santri-serukan-transisi-energi/ https://desantara.or.id/peringati-hari-bumi-para-santri-serukan-transisi-energi/#respond Sat, 23 Apr 2022 15:53:24 +0000 https://desantara.or.id/?p=4742 Roy Murthado, 23 April 2022 Dalam rangka memperingati hari bumi, Yayasan Desantara Depok dan Pesantren Ekologi Misykat al-Anwar Bogor menggelar webinar bertema “Hari Bumi: Ayo Transisi Energi”, Jumat (22/4/2022). Kegiatan yang diselenggarakan secara daring tersebut tidak hanya dihadiri oleh para santri, tapi juga para pemuda lintas agama dan alumni pelatihan Yayasan Desantara “Kemah Ekologi” dari […]

Artikel Peringati Hari Bumi: Para Santri Serukan Transisi Energi pertama kali tampil pada Desantara Foundation.

]]>
Roy Murthado, 23 April 2022

Membahas Progresivitas Agama dan Fenomena Hijrah bersama Roy Murtadho - Whiteboard JournalDalam rangka memperingati hari bumi, Yayasan Desantara Depok dan Pesantren Ekologi Misykat al-Anwar Bogor menggelar webinar bertema “Hari Bumi: Ayo Transisi Energi”, Jumat (22/4/2022).

Kegiatan yang diselenggarakan secara daring tersebut tidak hanya dihadiri oleh para santri, tapi juga para pemuda lintas agama dan alumni pelatihan Yayasan Desantara “Kemah Ekologi” dari berbagai kota, diantaranya dari Jakarta, Semarang, Banyuwangi, Buleleng, Makassar, dan Ternate.

Dalam kesempatan ini, hadir sebagai pemantik diskusi, Faiqotul Mutia (Enter Nusantara), Roy Murtadho (peneliti Desantara), Kinanti Guritwening (Santri Pesantren Ekologi Misykat al Anwar), dan Ardhiatama Purnama Aji (mahasiswa UNNES Semarang).

Diskusi ini dibuka dengan pemaparan dari Faiqotul Mutia dari Enter Nusantara terkait bagaimana krisis iklim, serta apa yang harus dilakukan dalam menyikapi persoalan tersebut. Mutia mengatakan, “dalam menyikapi krisis iklim ini, transisi energi menjadi penentu keberhasilan dan kegagalan umat manusia menanggulangi krisis iklim. Tanpa transisi energi dari energi fosil yang kotor ke energi terbarukan yang bersih, tidak akan mungkin kita mampu menahan laju pemanasan bumi”. Tidak hanya itu, Mutia juga menambahkan bahwa yang diperluan bukan hanya transisi energi pada sumbernya saja, tetapi juga mencakup tata kelola yang demokratis dan berkeadilan. Tata kelola dengan prinsip demokratis dan berkeadilan menjadi penting, sebab jika tidak, maka transisi energi tersebut hanya akan berorientasi pertumbuhan ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir orang saja, tanpa mempedulikan aspek keadilan, keberlanjutan, serta keselamatan bersama.

Sedangkan Gus Roy, sapaan akrab Roy Murtadho menjelaskan bahwa mencegah kerusakan bumi dan menjaga kelestarian seluruh kehidupan di atasnya merupakan tugas profetik seluruh umat manusia saat ini, khususnya kaum muslim yang menjunjung tinggi nilai Islam rahmatan lil alamin, yang menjadikan agama Islam sebagai jalan keselamatan bagi seluruh alam. “Saat ini, di tengah krisis iklim”, kata Gus Roy, “komitmen kaum muslim untuk menyelamatkan bumi sedang diuji”.

Gus Roy juga menambahkan, dalam kaidah fiqih Jalbul masalih wa daf’ul mafasid kaum muslim dianjurkan untuk mengambil kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Dalam konteks krisis iklim saat ini, transisi energi merupakan bentuk dari sikap kaum muslim mengambil kemaslahatan yaitu berpindah ke energi bersih dan menolak kemafsadatan, yaitu meninggalkan energi fosil yang kotor dan berbahaya bagi kehidupan.

Lebih lanjut Ia menambahkan, “Islam mengajarkan untuk mengkomsumsi sesuatu yang Halalan Toyyiban. Mungkin apa yang kita konsumsi, yang kita kendarai, kita pakai adalah halal. Misalnya, kita membeli makanan dengan cara halal dan dari uang halal, kita membeli pakaian dengan cara halal dan dari uang halal, kita membeli mobil dengan cara halal dan dari uang halal, tapi belum tentu yang halal tadi, makanan, pakaian, dan mobil yang kita pakai bisa dikategorikan baik sebagaimana perintah Allah. Karena apa makanan yang kita makan, pakaian yang kita pakai, selain ada keringat buruh di dalamnya juga ada jejak karbon yang merusak kehidupan. Bahkan mobil, sejak dari proses produksinya hingga yang kita kendarai, mengandung jejak karbon dan menghasilkan emisi karbon. Problem ini mesti menjadi refleksi mendalam bagi kaum muslim yang hidup di akhir zaman seperti sekarang”.

Menambahi apa yang telah disampaikan Mutia, mahasiswa UNNES Semarang yang juga alumnus pelatihan Pesantren Ekologi yang diselenggarakan Yayasan Desantara, Ardhiatama Purnama Aji, menyatakan perlunya transisi energi serta sistem tata kelola yang adil dan demokratis, sehingga peralihan energi ini tidak hanya menguntungkan segelintir pihak. Dan pemantik diskusi terakhir, Kinanti Guritwening, Santri Pesantren Ekologi Misykat al-Anwar berpendapat bahwa, banyak hal yang tampak sederhana dan tidak merusak, tapi sebenarnya merusak lingkungan, seperti penggunaan batubara seperti saat ini. Ia berharap pemerintah segera, tanpa basa basi membuktikan komitmennya untuk secara bertahap meninggalkan energi batubara.

“Krisis iklim ini adalah sesuatu nyata, bukan hoax. Ia telah mewujud sebagai peristiwa paling mengerikan yang hadapi manusia saat ini. Mungkin belum banyak orang yang tahu, sejak 2016 lalu, suhu udara di Kuwait mulai mencapai 50°C dan terus meningkat hingga pernah mencapai suhu terpanas 70°C. Demikian juga dengan di India, saat diterpa gelombang panas yang cukup ekstrem, suhu harian rata-ratanya 42°C. Bahkan, di beberapa tempat, seperti di kota Ahmedabad suhu bisa mencapai 48°C. Sedangkan di Pakistan, pada saat dilanda gelombang panas pada 2015, suhu di kota Karachi bisa mencapai 45°C dan menewaskan ribuan orang”, imbuh Kinanti.

Di kesempatan lainnya, Siti Barokah, selaku panitia diskusi, mengatakan mengapa transisi energi dipilih sebagai tema diskusi hari bumi kali ini? menurutnya, karena energi merupakan kata kunci penting dalam isu krisis iklim. Di satu sisi, energi merupakan elemen penting dalam kehidupan manusia, karena tanpa energi, seluruh aktivitas—terutama ekonomi—akan terhenti. Namun di sisi lainnya, karena energi yang menopang seluruh aktivitas manusia masih memakai energi fosil, khususnya minyak bumi dan batubara, yang menghasilkan karbon dioksida telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang demikian besar yang pernah ada dalam sejarah umat manusia.

Kemudia dilanjut Oka, sapaan akrab Siti Barokah, ““PLTU batubara yang kita pakai saat ini merupakan salah satu kontributor utama emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim. Bahkan, organisasi lingkungan, Greenpeace, menyebut PLTU sebagai kontributor terburuk tunggal yang bertanggungjawab atas hampir setengah (46%) dari emisi karbon dioksida dunia. Jadi tak ada pilihan lain. Kalau mau mengatasi krisis iklim yang harus ditempuh segera adalah transisi energi”.

 

Artikel Peringati Hari Bumi: Para Santri Serukan Transisi Energi pertama kali tampil pada Desantara Foundation.

]]>
https://desantara.or.id/peringati-hari-bumi-para-santri-serukan-transisi-energi/feed/ 0
Ziarah ke Makam Datuk Ri Pagentungan https://desantara.or.id/ziarah-ke-makam-datuk-ri-pagentungan/ https://desantara.or.id/ziarah-ke-makam-datuk-ri-pagentungan/#respond Tue, 05 Apr 2022 06:05:12 +0000 https://desantara.or.id/?p=4725 Syamsurijal Ad’han, 1 April 2022 Menjelang bulan Ramadhan, makam ini dikunjungi oleh berbagai kalangan. Memang tidak seramai dengan yang ziarah ke makam Syekh Yusuf, tetapi orang-orang tetap ada yang datang berkunjung. Di luar bulan Ramadhan sering pula orang datang berziarah sebagai bagian dari ritual melepas tinja’ (nazar). Namun, siapa Datuk ri Pegentungan ini ? Tidak […]

Artikel Ziarah ke Makam Datuk Ri Pagentungan pertama kali tampil pada Desantara Foundation.

]]>
Syamsurijal Ad’han, 1 April 2022

Menjelang bulan Ramadhan, makam ini dikunjungi oleh berbagai kalangan. Memang tidak seramai dengan yang ziarah ke makam Syekh Yusuf, tetapi orang-orang tetap ada yang datang berkunjung. Di luar bulan Ramadhan sering pula orang datang berziarah sebagai bagian dari ritual melepas tinja’ (nazar).

Namun, siapa Datuk ri Pegentungan ini ? Tidak banyak informasi mengenai sosok ulama tersebut. Tulisan yang mengulas tentang dia juga minim, bahkan saya belum menemukan. Tetapi sosok ini dianggap sebagai salah satu guru dari Syekh Yusuf. Konon Syekh Yusuf belajar mengaji dan juga ilmu hakikat pada Sang Datuk. Meski secara usia, Datuk Pegentungan lebih tua dari Syekh Yusuf, tetapi di masyarakat mereka dikenal sebagai tiga serangkai. Satunya lagi adalah Lu’mu Ri Antang.

Karena kurangnya tulisan soal Datuk Pagentungan, maka informasi tentangnya lebih banyak dituturkan secara lisan. Konon menurut penjaga makamnya, nama aslinya adalah Srinaradireja bin Abd Makmur. Ia adalah anak dari Datuk ri Bandang yang juga dikenal dengan nama Abdul Makmur Khatib Tunggal. Srinaradireja datang ke Makassar untuk mencari ayahnya, kemudian akhirnya menetap di negeri ini.

Datuk ri Pagentungan, seturut informasi lisan, hidup di masa pemerintahan I Mangerangi Deang Manrabia atau Sultan Alauddin. Raja Gowa ke-14, sekaligus raja yang pertama memeluk Islam. Keterangan tentang ini juga dimuat di bugispos.com, tetapi juga hanya mengandalkan sumber lisan.

Di dekat makam Datuk Pagentungan terdapat beberapa makam lain. Mereka ini adalah para cantrik dari Datuk Pagentungan. Dua di antaranya, sekali lagi, konon bernama Karaeng Subuhan dan Karaeng Bau.

Menurut Mubarak, salah satu syair dari Datuk Pagentungan sering dilantunkan oleh Syekh Karaeng Nompo, pimpinan tarekat Khalwatiah Yusuf. Bunyi syair itu adalah:
“Berkumpul dengan ulama laksana kita berada di dekat penjual parfum. Engkau akan kebagian wanginya juga. Berkumpul dengan penjahat ibarat berada di tukang besi, niscaya akan kebagian bau besinya.”

Ketika sahabat saya Mubarak menyampaikan itu, saya baru teringat bahwa ayah saya sendiri sangat sering membacakan syair itu. Ayah saya sendiri memang membaca naskah lontara yang mengisahkan tentang Syekh Yusuf. Berat dugaan saya, ayah saya mendapat itu dari naskah lontara Syekh Yusuf. Syairnya sedikit berbeda. Bunyinya kira-kira begini:

“Bergaul dengan ulana laksana kita berada di taman bunga, kalau tidak kena bunganya bau harumnya tercium jua. Bergaul dengan penjahat laksana kita berada di tukang besi, kalau tidak kena apinya, bau asapnya tercium jua”.

Artikel Ziarah ke Makam Datuk Ri Pagentungan pertama kali tampil pada Desantara Foundation.

]]>
https://desantara.or.id/ziarah-ke-makam-datuk-ri-pagentungan/feed/ 0
Demo Menolak RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi bag. 4 https://desantara.or.id/demo-menolak-ruu-anti-pornografi-dan-pornoaksi-bag-4/ https://desantara.or.id/demo-menolak-ruu-anti-pornografi-dan-pornoaksi-bag-4/#respond Fri, 01 Apr 2022 15:22:33 +0000 https://desantara.or.id/?p=4722 Artikel Demo Menolak RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi bag. 4 pertama kali tampil pada Desantara Foundation.

]]>

Artikel Demo Menolak RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi bag. 4 pertama kali tampil pada Desantara Foundation.

]]>
https://desantara.or.id/demo-menolak-ruu-anti-pornografi-dan-pornoaksi-bag-4/feed/ 0
Demo Menolak RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi bag. 2 https://desantara.or.id/demo-menolak-ruu-anti-pornografi-dan-pornoaksi-bag-2/ https://desantara.or.id/demo-menolak-ruu-anti-pornografi-dan-pornoaksi-bag-2/#respond Fri, 01 Apr 2022 15:21:00 +0000 https://desantara.or.id/?p=4718 Artikel Demo Menolak RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi bag. 2 pertama kali tampil pada Desantara Foundation.

]]>

Artikel Demo Menolak RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi bag. 2 pertama kali tampil pada Desantara Foundation.

]]>
https://desantara.or.id/demo-menolak-ruu-anti-pornografi-dan-pornoaksi-bag-2/feed/ 0
Demo Menolak RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi bag. 1 https://desantara.or.id/demo-menolak-ruu-anti-pornografi-dan-pornoaksi-bag-1/ https://desantara.or.id/demo-menolak-ruu-anti-pornografi-dan-pornoaksi-bag-1/#respond Fri, 01 Apr 2022 15:20:12 +0000 https://desantara.or.id/?p=4716 Artikel Demo Menolak RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi bag. 1 pertama kali tampil pada Desantara Foundation.

]]>

Artikel Demo Menolak RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi bag. 1 pertama kali tampil pada Desantara Foundation.

]]>
https://desantara.or.id/demo-menolak-ruu-anti-pornografi-dan-pornoaksi-bag-1/feed/ 0
Dayak Kenyah bag. 4 https://desantara.or.id/dayak-kenyah-bag-4/ https://desantara.or.id/dayak-kenyah-bag-4/#respond Fri, 01 Apr 2022 15:19:22 +0000 https://desantara.or.id/?p=4713 Artikel Dayak Kenyah bag. 4 pertama kali tampil pada Desantara Foundation.

]]>

Artikel Dayak Kenyah bag. 4 pertama kali tampil pada Desantara Foundation.

]]>
https://desantara.or.id/dayak-kenyah-bag-4/feed/ 0
Dayak Kenyah bag. 2 https://desantara.or.id/dayak-kenyah-bag-2/ https://desantara.or.id/dayak-kenyah-bag-2/#respond Fri, 01 Apr 2022 15:18:24 +0000 https://desantara.or.id/?p=4711 Artikel Dayak Kenyah bag. 2 pertama kali tampil pada Desantara Foundation.

]]>

Artikel Dayak Kenyah bag. 2 pertama kali tampil pada Desantara Foundation.

]]>
https://desantara.or.id/dayak-kenyah-bag-2/feed/ 0